PENGANTAR
Tidak
dapat dipungkiri pada masa sekarang ini, sistem demokrasi menjadi salah satu
elemen terpenting untuk menyebut sebuah negara dalam kategori modern. Walaupun
pada kenyataannya, konsep Demokrasi ini merupakan istilah yang ambigious (ambigu).
Karena ke-amnbigu-annyalah dapat dipastikan bahwa demokrasi memiliki makna yang
beragam dan tidak ada definisi yang tunggal.
Maka
dari itu tidaklah mengherankan apabila semua Negara di dunia ini tidak mau
dikatakan tidak demokrasi. Hal ini kemudian memunculkan istilah-istilah yang
unik yang melekat di kata demokrasi seperti demokrasi rakyat di Republik Rakyat
China, demokrasi pancasila di Indonesia dan lain sebagainya. Jadi adalah hal
yang salah apabila suatu Negara mengklaim bahwa Negaranya adalah Negara yang
paling demokratis, dan dengan alasan tersebut membolehkan mereka menyerang
negara yang dianggap tidak demokratis oleh mereka.
Dikarenakan
patokan yang ambigu inilah yang membuat sekelompok orang dan negara dapat
mengklaim diri mereka itu demokratis. Kendatipun demikian perlu diketahui bahwa
sistem politik demokrasi bisa kuat apabila ditunjang oleh salah satunya adalah dengan
adanya Civil Society yang kuat dan mandiri.
Apa
itu Civil Society? Konsep Civil Society sama seperti halnya
dengan Demokrasi memiliki definisi dan intepretasi yang beragam bahkan
banyak istilah lain digunakan untuk memaknai Civil Society, misalnya
masyarakat Madani, Masyarakat Sipil dan Sebagainya. Dahulu, Civil Society
identik dengan konsep State, kemudian seiring berjalannya waktu wacana Civil
Society berkembang menjadi salah satu penyeimbang sekaligus watchdog
bagi pemerintah. Di Indonesia sendiri, wacana Civil Society
sedang mengalami perintisan dan perkembangan, walaupun hal tersebut masih
terdapat kekurangan disana-sini. Hal itu wajar karena menurut Muhammad A.S
Hikam (2000) Civil Society bukanlah konsep yang ideal yang utopis,
tetapi ia adalah realitas. Jadi,
adalah hal yang lumrah apabila ada kritik-kritik di dalamnya.
Oleh
karena itu dalam pembahasan kali ini, Kami Penulis berusaha untuk mencoba
menjelaskan tentang “apa itu Civil Society?” Sejarahnya,
Definisinya dan semuanya yang berkaitan dengan Civil Society secara
general. Kemudian, Kami Penulis juga berusaha untuk melihat “bagaimana wacana
Civil Society berkembang dalam masyarakat Indonesia?” dan juga jika bisa,
kami Penulis Juga berusaha mengkaitkan relasi antara Civil Society,
demokrasi, dan Integrasi di Indonesia.
SEBUAH
WACANA CIVIL SOCIETY
1.
Konsep Civil Society
A.
Definisi Civil Society
Civil Society
merupakan konsep yang digadang-gadang berawal dari dunia Barat. Secara terma/istilah
saja Civil Society memiliki banyak istilah yang disamakan dengannya,
sebut saja: ‘masyarakat madani’, ‘masyarakat sipil’, ‘masyarakat kewargaan’ dan
lain-lain. Untuk mempermudah kita mengetahui beranekaragaman istilah Civil
Society ini ada baiknya kita melihat dan mengacu pada gagasan yang
dirumuskan oleh Dawam Rahardjo di bawah ini:
Asing
|
Indonesia
|
Koinonia
Politike
(Aristoteles)
|
Masyarakat
Sipil
(Mansour
Fakih)
|
Civilis
Societas
(Cicero)
|
Masyarakat
Warga
(Soetandyo
Wignyosubroto)
|
Comonitas
Civilis
Comonitas
Politica
Societe
Civile
(Tocquiville)
|
Masyarakat Kewargaan
(Franz-Magnis Suseno dan M. Ryas Rasyid)
|
Burgerlishe Gesellschaft
(Hegel)
|
Masyarakat Madani
(Anwar Ibrahim, Nurcholis Madjid, M. Dawam Rahardjo)
|
Civil Society
Civitas Etat
(Adam Ferguson)
|
Civil Society
(tidak diterjemahkan
M. AS. Hikam)
|
Dari
beberapa Istilah di atas sebenarnya Civil Society sulit ditafsirkan
sebagai sebuah konsep. Apalagi kebanyakan cendikiawan di dunia Timur memahami
konsep Civil Society adalah sama dengan masyarakat madani. Jika Civil
Society disamakan dengan Masyarakat Madani, maka Civil Society atau
Masyarakat Madani menurut Anwar Ibrahim, sebagaimana dikutip Dawam Rahardjo, merupakan
sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.
Sepakat
dengan Anwar Ibrahim, Dawam Rahardjo juga mengemukakan pendapatnya sendiri
dengan mendefinisikan masyarakat madani atau Civil Society sebagai
proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama.
Menurutnya, dalam masyarakat Madani, warga Negara bekerjasama membangun ikatan
sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat
non-negara.
Hampir
sama dengan kedua cendikiawan sebelumnya, Azyumardi Azra menilai bahwa masyarakat
madani lebih dari sekedar gerakan pro-demokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukkan
masyarakat berkualitas dan bertamadun (civility). Sivilitas meniscayakan
toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima berbagai pandangan
politik dan sikap sosial yang berbeda. Itu berarti, tidak ada satu pihak mana
pun, termasuk pemerintah dan gerakan-gerakan pro-demokrasi, yang berhak
memaksakan aspirasi dan kemauannya sendiri.
Demikian juga dengan Nurcholish Madjid yang menegaskan bahwa makna
masyarakat Madani berakar dari kata ’Civility’ yang mengandung makna toleransi,
kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan
tingkah laku sosial.
Beda
halnya dengan para Cendikiawan yang menganggap istilah Civil Society serupa
dengan masyarakat madani, Muhammad A.S Hikam bersikukuh tetap menggunakan
istilah Civil Society dan tidak berusaha mengubahnya. Menurutnya,
istilah-istilah yang sudah ada, ternyata memang sudah dikembangkan dan
pemahamannya berbeda dengan apa yang dipahami oleh Hikam. Perbedaan itu dapat
dilihat dari dua hal: Pertama, istilah seperti ’masyarakat madani’
itu cenderung telah dikooptasi oleh negara. Ia dipahami sebagai sebuah
masyarakat ideal yang disponsori atau dibikin negara, sebagaimana kita pernah
mendengar istilah ’masyarakat pancasila’. Kedua, istilah ’masyarakat madani’ itu secara khusus
dipopulerkan oleh pemikir Islamis, sehingga wacana itu kemudian cenderung
menjadi monopoli kalangan Islam. Selain itu, menurut
Hikam, istilah
’masyarakat madani’ itu mengambil dari kata ”madinah” yang artinya kota atau
peradaban. Di sini terlihat jelas adanya bias, bahwa (seakan-akan) yang paling
beradab itu masyarakat kota padahal di dalam teori Civil Society tidak ada bias semacam itu. Dalam Civil Society yang penting adalah
kemandirian organisasi-organisasi, tanpa ada pembedaan kota atau desa. Bahkan, menurutnya,
kalau kita jujur, di dalam konteks Indonesia, Civil Society itu bertumbuh di daerah pedesaan juga, yakni dalam
organisasi-organisasi seperti pesantren, paguyuban lumbung desa, dan
sebagainya. Hal-hal seperti itu pada dasarnya merupakan embrio dari Civil Society.
Sedangkan
Chazan dalam Hadiwinata (2003) menyampaikan bahwa
”...civil society adalah kelompok-kelompok asosiasi yang bisa
berfungsi sebagai pengerem kekuasaan negara (sehingga dengan sendirinya selalu
berseberangan dengan negara), sebagai perantara yang budiman antara kepentingan
negara dan aspirasi lokal, atau sebagai rangkaian kelembagaan sosial yang
saling berinteraksi antar-sesamanya dalam suatu struktur formal yang bisa
memfasilitasi atau menghambat tata kelola negara...”
- Sejarah dan Dimensi-Dimensi Pemikiran
Civil Society
Konsep
Civil Society mengalami perubahan pemahaman selama lebih dari dua abad
terakhir. Namun Muhammad A.S. Hikam telah merumuskan bahwa konsep
Civil Society telah digunakan dalam beberapa dimensi pengertian: 1) sebagai
visi etis dalam kehidupan bermasyarakat, 2) sebagai sistem kenegaraan, 3)
sebagai sebuah elemen ideologi kelas dominan, dan 4) sebagai kekuatan
penyeimbang dari negara.
1). Civil
society Sebagai Visi Etis dalam Kehidupan Bermasyarakat
Pengertian
Civil Society sebagai gagasan etis dipergunakan oleh para filsuf
pencerahan. Salah satu proponennya adalah Adam Ferguson (1776), filsuf dari
Skotlandia, yang memahami Civil Society sebagai ”sebuah visi etis dalam
kehidupan bermasyarakat.” Ferguson menggunakan pemahaman ini untuk
mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan
munculnya kapitalisme. Keduanya bertanggung jawab atas bertambah mencoloknya
pembedaan antara yang publik dan yang privat. Munculnya ekonomi pasar, menurut
Ferguson, melunturkan tanggungjawab publik dari warga karena dorongan pemuasan
kepentingan pribadi. Dengan Civil Society, maka Ferguson berharap
kembalinya semangat publik untuk menghalangi munculnya despotisme. Sebab dalam Civil
Society itulah solidaritas sosial muncul yang diilhami oleh sentimen moral
dan sikap saling menyayangi antar-warga secara alamiah.
2). Civil Society Sebagai Sistem Kenegaraan
Civil
Society sebagai kenegaraan muncul lebih awal, bahkan beberapa orang
melacaknya sampai zaman Yunani kuno. Asal-muasalnya adalah apa yang disebut
Aristoteles sebagai koinonia politike, sebuah komunitas politik dimana
warga (citizens) terlibat langsung dalam pengambilan keputusan. Cicero
menyebut komunitas itu dengan societas civilis, sebuah komunitas yang
mendominasi komunitas-komunitas lain. Pemahaman
civil society
seperti ini berlaku sampai paruh kedua abad ke-18. Hobbes dan Locke menggunakan
istilah
civil society sebagai tahapan evolusi dari
natural society,
sehingga
civil society adalah sama dengan negara. Pihak yang terakhir
ini muncul karena masyarakat memerlukan sebuah entitas baru yang dapat meredam
konflik sehingga warga masyarakat tidak saling menghancurkan (Hobbes) atau agar
kebebasan dan hak miliknya terlindungi (Locke). Dua pandangan mengenai negara/
civil
society harus berkembang. Bagi Hobbes, negara/
civil society harus
memiliki kekuasaan absolut pada warga. Sementara itu, Locke menolak pandangan
seperti itu karena pada hakekatnya warga memiliki hak penuh untuk mengabaikan
negara/
civil society jika ia gagal dalam menjamin kebebasan dan hak
milik pihak pertama. Negara/
civil society yang baik justru yang kecil
dan hanya mengurusi masalah-masalah yang memang tidak bisa dilakukan warganegara.
Tugas terpenting negara/
civil society adalah memberikan perlindungan
kepada warga dan hak-haknya agar mereka bisa mencapai kepentingannya secara
penuh.
Konsep
Civil Society sebagai
negara ini mengalami perubahan pada paruh akhir abad ke-18. para pemikir dan
aktivis liberal seperti Tom Paine tidak puas dengan penyamaan
civil society
dengan negara sehingga menganggap perlu adanya pemisahan antara keduanya. Negara
harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya karena keberadaannya hanyalah suatu
keniscayaan yang buruk (
necessary evil) belaka. Sementara
civil
society adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan
memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya. Dengan demikian,
civil society
harus lebih kuat dan mengontrol negara demi keperluannya
3).
Civil Society Sebagai Sebuah Elemen Ideologi
Kelas Dominan
Kendati pemisahan antara negara dan
civil
society dipertahankan, tetapi gagasan bahwa pihak pertama berada dalam
kontrol pihak terakhir ditolak oleh Hegel. Bagi filsuf Jerman ini,
sebaliknyalah yang terjadi.
Civil society, atau
buergerliche
gesellschaft, adalah sebuah lembaga sosial yang berada di antara keluarga
dan negara, yang dipergunakan oleh warga sebagai ruang untuk mencapai pemuasan
kepentingan individu dan kelompok.
Ia
tersusun dari elemen-elemen keluarga, korporasi/asosiasi, dan aparat
administrasi/legal. Karena
berada dalam posisi antara, maka civil society masih belum mampu
melakukan kontrol dan mengatasi konflik internal melalui politik. Kemampuan
politik itu hanya dimiliki oleh negara, sebagai entitas penjelmaan ide
universal dan karena itu, posisinya secara logis mengatasi dan mengontrol civil
society.
Karl
Marx mempergunakan konsepsi Hegel yang bersifat historis sosiologis kendatipun
kemudian pemahaman yang digunakan Marx sangat berbeda. Sambil tetap
mempertahankan konsep civil society sebagai buergerliche gesellschaft,
Marx mereduksinya dalam konteks hubungan produksi kapitalis, sehingga civil
society adalah kelas borjuis itu sendiri. Akibatnya, berbeda dengan Hegel,
Marx menganggap civil society pun sebagai kendala bagi pembebasan
manusia dari penindasan. Hapusnya
civil society (
the withering
away of civil society) jadinya merupakan tahapan yang harus ada bagi
munculnya masyarakat tak berkelas.
Sedikit berbeda dengan Marx yang
determinisme ekonomi, Gramsci kendatipun seorang pemikir Marxist mencoba
menggunakan cara pandang lain, yaitu dengan menempatkan
civil society
bukan sebagai elemen bebas material tetapi sebagai superstruktur.
Civil
society dalam pemikiran Gramsci adalah arena bagi penggelaran hegemoni di
luar kekuatan negara yang disebut Gramsci sebagai
political society.
Melalui
civil society itulah aparat hegemoni beroperasi mengembangkan
hegemoni untuk menciptakan konsensus dalam masyarakat.
Dengan demikian, civil society dalam
pengertian Gramsci merupakan momen “moral” dari kekuatan dominan, sementara
negara merupakan momen ”politis-etis”nya. Kendati-pun begitu, Gramsci telah
memberikan penafsiran yang berbeda mengenai civil society, tetapi Ia tak
mempertentangkannya dengan negara. Gramsci hanya memberikan penafsiran terhadap
civil society dari sisi ideologis (superstruktur) yang berbeda dengan
Marx yang melihatnya dari relasi produksi (basis material). Karena itu, konsep
Gramsci sebenarnya lebih dinamis, karena dalam momen hegemoni tersebut selalu
terbuka kemungkinan counter-hegemoni dari kekuatan di luar negara.
Gramsci menyebut adanya ”keesadaran berlawanan” (contradictory consciousness)
dalam setiap momen hegemoni yang membuka peluang bagi perlawanan atasnya.
4). Civil
Society Sebagai Sebuah Kekuatan Penyeimbang Negara
Alex
de Tocquiville mengembangkan konsep civil society sebagai sebuah
kekuatan penyeimbang negara berdasarkan pengalamannya di Amerika Serikat. Menurut
Tocquiville posisi civil society tidak apriori subordinatif terhadap
negara. Civil society memiliki kekuatan politis yang dapat mengekang
atau mengontrol kekuatan intervensionis negara. Tocquiville menekankan adanya
dimensi kultural yang membuat civil society dapat berperan sebagai
kekuatan penyeimbang, yakni keterikatan dan semangat kepatuhan terhadap
norma-norma dan nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Tocquiville tidaklah
menganggap hubungan antara politik dan civil
society sebagai sesuatu yang asing karena saling memerlukan. Hubungan
keduanya bersifat resiprokal (timbal-balik, red), karena pada hakekatnya
civil society merupakan sumber input bagi proses-proses politik, dan
politiklah yang membuat civil society tidak hanya berorientasi kepada
kepentingan sendiri tetapi sensitif terhadap kepentingan publik.
Dalam
wacana civil society mutakhir, menurut A.S. Hikam, konsepsi
Tocquevillian dan Gramscian merupakan rujukan utama aktivis dan pakar. Selain
kedua sumber tersebut, menurut A.S. Hikam, wacana mutakhir civil society
diperkaya oleh berbagai pemikiran politik dari tokoh-tokoh seperti Hannah
Arendt dan Juergen Habermas tentang ruang publik bebas (the free public
sphere) dan kewarganegaraan (citizenship). atau Charles Taylor dan
Daniel Bell tentang pluralisme dan peran komunitas-komunitas kecil dalam
pertumbuhan civil society di Amerika Serikat, atau dari kalangan pemikir Feminis yang
mengkritik civil society, khususnya terhadap pemahaman mengenai
pembagian antara publik dan privat yang mengandung prasangka gender.
Penjelasan
di atas sebenarnya sudah menyinggung sejarah Konsep civil society yang
lahir di Barat dan untuk lebih mudah mengetahui perjalanan dan perkembangan
pemikiran civil society maka kita lihat tabel di bawah ini.
Tabel 2: Perkembangan Konsep Civil Society
Aristoteles
(394-322 SM)
- Masyarakat warga
- Hidup di kota
- Masyarakat politik
|
Thomas Hobbes (1588-1831)
- Membedakan antara civil society dan state of nature
- State of nature: war of every man against every
man (homo homini lupus)
- Civil society
adalah warga yang melakukan social contract dan membentuk
kedaulatan yang wajib ditaati dan melindungi hak mereka
|
G.W.F. Hegel
(1770-1831 M)
- Membedakan civil society dengan state
- Civil society dibentuk oleh system of needs yang dioperasikan dalam
sistem produksi dan pertukaran
- State adalah
the civil sphere of public institution
- Civil society memburu kepentingan pribadi, serakah, boros,
kurang hangat, tidak kohesif
- Civil society adalah Burgerlishe Gesellschaft
|
Antonio Gramsci (1891-1937 M)
- Civil society bukan hanya economic sphere
- Civil society tidak hanya mendukung atau menolak Negara atau ideology
dan kepentingan borjuis
- Civil society punya ekonomi dan
kepentingan sendiri berhadapan dengan negara sebagai predominant by
coersive apparatus
|
Cicero
(106-43 SM)
- Masyarakat kota
- Masyarakat beradab
- Masyarakat Hukum
|
John Locke
(1632-1704 M)
- Membedakan antara civil society dengan political
society dan state of nature
- Civil society adalah economic society dengan ciri
|
Karl Marx
(1818-1883 M)
- Mengukuhkan reduksi civil society menjadi dimensi ekonomi
- Percaya pada withering away of the state, menjadi
masyarakat tanpa Negara dan tanpa kelas
- Negara adalah komite
penyelenggara kepentingan kelas borjuis
|
Wuthow (1989 )
dari Tocquiville (1805-1859 M)
- Model tiga sektor; sektor
negara, pasar, volunter.
- Ciri civil society: voluntary, self-genarting,
self-supporting independent from the state, law abiding citizen
|
Thomas Aquina
(1226-1274 M)
- Comunitas civilis
- Comonitas politica
- Conterminous with the state
|
Thomas Paine
(1737-1803 M)
- Supermacy of civil society
- State is a necessary evil
|
|
|
- Karakteristik Civil Society
Menurut A. S Hikam (2000), ciri
utama dari
civil society adalah ‘keswadayaan’ dan ‘kesukarelaan’. ‘
kesewasembadaan’,
‘keterbukaan’, serta ‘ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan hukum. Ia juga
mengatakan bahwa faktor-faktor itulah yang menjadikan
civil society
sebagai motor proses demokratisasi, karena semua itu merupakan hak-hak dasar
manusia.
Seperti telah dijelaskan di atas,
bahwa ada beberapa cendikiawan yang menyamakan
civil society dengan
istilah masyarakat Madani. Oleh karena itulah Kami juga memasukan karakteristik
dari masyarakat Madani seperti yang dilakukan A. Ubaedillah, dkk (2006) yang
telah merumuskan beberapa unsur pokok yang harus dimiliki masyarakat madani
yaitu: wilayah publik yang bebas (
free
public sphere), demokrasi, toleransi, kemajemukan (
pluralism), dan
keadilan sosial (
social justice).
- Fungsi
Civil Society
A.S Hikam (2000) menyatakan bahwa
fungsi
civil society bisa dilihat dari
civil society sebagai alat
dan tujuan. Ia menjelaskan bahwa
civil society sebagai alat berfungsi
sebagai landasan sosial untuk melakukan
checks and balances. Sedangkan,
civil
society sebagai tujuan, berfungsi agar masyarakat tetap bisa mengawasi
konflik-konflik sosial secara damai dan institusional. Kondisi itu akan
tercipta kalau menurut Hikam (2000), masyarakatnya adalah masyarakat
civil
society dan bukan masyarakat yang pasif. Sebab inti dari
civil society
adalah partisipasi aktif. Sama halnya dengan demokrasi, ia dapat berfungsi
sebagai prosedur bisa juga substansi.
- Civil
Society di Indonesia
Muhammad A.S. Hikam (2000) menggunakan
pemahaman Tocquevellian untuk menjelaskan
civil society di Indonesia.
Civil
society di
Indonesia
mengalami masa pertumbuhannya ketika terjadi proses formasi sosial baru dalam
masyarakat kolonial menyusul diperkenalkannya sistem ekonomi kapitalis dan birokrasi
modern. Tentu saja embrio dari
civil society telah ada sebelumnya, yaitu
keberadaan lembaga-lembaga masyarakat yang kurang lebih bersifat mandiri,
seperti lembaga pendidikan pesantren, misalnya. Namun demikian, perkembangan
civil
society yang memiliki kemampuan mengambil jarak terhadap negara dan mencoba
melakukan fungsi dan peran penyeimbang baru terjadi pada awal abad ke dua
puluh, manakala organisasi-organisasi kemasyarakatan modern terbentuk. Kelas
menengah baru, khususnya dari kalangan pribumi, yang kemudian menjadi motor
gerakan-gerakan sosial yang menawarkan alternatif terhadap sistem sosial dan
politik kolonial dapat disebut sebagai aktor utama
civil society modern
di negeri ini dalam pengertian yang sebenarnya.
Namun demikian, sejarah sosial dan
politik di
Indonesia
tidaklah sama dengan di Barat, di mana setelah terjadi revolusi industri dan
masa pencerahan,
civil society benar-benar tumbuh sebagai sebuah
kekuatan riil yang mampu mengimbangi kekuatan negara. Sebaliknya, di Indonesia,
civil society seolah-olah tidak pernah beranjak dari tahapan awal atau
bahkan embrionik. Kapitalisme yang berkembang tidak hanya terdistorsi, tetapi
juga menghalangi tumbuhnya kelas borjuis di kalangan pribumi. Formasi sosial
yang kondusif bagi sebuah
civil society yang dewasa tidak terjadi,
kendatipun telah diupayakan setelah kemerdekaan dicapai, khususnya pada masa
Demokrasi Parlementer tahun 50-an. Pada tataran kultural, walaupun telah dibuat
landasan-landasan baru bagi sebuah tatanan sosial dan politik modern oleh para
pendiri bangsa, tetapi dalam praktiknya hegemoni kultur politik feodal masih
kuat. Primordialisme dan sektarianisme politik tetap menjadi wacana dan praksis
sosial politik yang pada gilirannya memperlemah fondasi
civil society
itu sendiri.
Formasi sosial yang seperti itu
semakin diperburuk lagi manakala gagasan negara kuat dianut dalam sistem
politik
Indonesia
semenjak periode Demokrasi Terpimpin dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Orde Baru
selama lebih dari tiga dasawarsa. Walaupun sistem ekonomi kapitalis kembali
diterapkan dan mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang lebih mendasar,
tetapi ia tidak dapat berbuat banyak dalam memperkuat landasan bagi sebuah
civil
society yang kuat. Yang terjadi adalah
civil society yang didasari
oleh kondisi sosial yang penuh paradoks. Di satu pihak, kelas menengah memang
berkembang, tetapi ia adalah kelas menengah yang rentan terhadap pengaruh
negara dan di lain pihak, organisasi sosial semakin berkembang dalam hal
kuantitas, tetapi kualitasnya masih tetap memprihatinkan. Banyak di antara
organisasi sosial dan kelompok kepentingan yang tergantung kepada negara atau
masih belum mampu mentransendir diri dari kecenderungan partikularisme dan
bahkan sektarianisme. Termasuk dalam kategori ormas adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat yang sejatinya merupakan salah satu tulang punggung utama
civil
society.
Hal ini
juga diamini oleh Dawam Rahardjo (1999) yang melihat bahwa dewasa ini
pengertian
civil society makin didekatkan kepada lembaga-lembaga swadaya
masyarakat. Padahal, sebelumnya,
civil society lebih dekat kepada
masyarakat borjuis atau masyarakat ekonomi. Tentu benar, bahwa lembaga-lembaga
swadaya masyarakat tersebut kerap kali bersumber dan dibentuk oleh masyarakat
borjuis.
Tetapi lama-kelamaan,
lembaga-lembaga tersebut semakin independen dari kekuatan perusahaan.
Tak
pelak lagi, kondisi yang seperti itu berpengaruh besar terhadap upaya
pemberdayaan civil society di Indonesia. Apalagi jika keberadaan sebuah civil
society yang kuat diandaikan sebagai salah satu prasyarat terpenting bagi
kehidupan yang lebih demokratis. Orientasi negara kuat yang dipilih oleh Orde
Baru, terlepas dari keunggulannya dalam menopang proses pembangunan ekonomi
terbukti telah ”membonsai” kehidupan demokratis. Depolitisasi massa lapis bawah,
korporatisasi negara terhadap organisasi sosial dan politik, monopoli
kekuasaan pada lembaga eksekutif, personalisasi kekuasaan, dan lemahnya lembaga
legislatif dan judikatif sebagai pengontrol kekuasaan, semuanya bermuara ke
satu arah: proses pelemahan posisi tawar menawar politik rakyat vis-a-vis
negara. Bukan itu saja. Kondisi yang seperti itu telah menyuburkan lahan bagi
maraknya pemakaian identitas primordial dalam permainan politik, khususnya
dalam rangka memperoleh akses politik di tingkat elite. Hal ini disebabkan oleh
politik kooptasi yang dijalankan melalui jalur elite kepemimpinan dalam
masyarakat. Akibatnya, terdapat kecenderungan tergusurnya kemandirian kelompok
strategis dan mudahnya dilakukan politik divide and rule terhadap
kelompok yang dianggap punya potensi menantang dominisi negara.
Hal
yang lebih memprihatinkan lagi, dalam konteks perkembangan civil society
adalah pada tataran kultural. Dimensi kultural yang berkaitan dengan prinsip-prinsip egalitarianisme,
demokrasi, jaminan hak-hak besar, menjadi pengikat utama civil society
yang pluralistik sifatnya itu. Tanpa adanya landasan prinsip tersebut walaupun civil
society ada secara fisik tetapi tak memiliki daya. Sebab civil society
juga demikian tak akan mampu melakukan refleksi yang akan memungkinkan proses
pengambilan jarak terhadap partikularisme sehingga dapat tercipta titik-titik
temu diantara mereka. Padahal dalam masyarakat yang sangat plural dan heterogen
seperti Indonesia kemampuan menemukan titik-titik persamaan itulah yang justru
sangat diperlukan sehingga civil society dapat mengembangkan dirinya sebagai
sumber input bagi penciptaan demokrasi. Sebagaimana yang kita saksikan
akhir-akhir ini, sementara kelompok dalam civil society di negara ini
malahan menjadi alat kepentingan negara dan menggunakan wacana sektarian dalam
rangka mencapai tujuan dan kepentingan politiknya.
- Relasi Demokrasi, Civil Society
dan Integrasi
Para Pakar seperti Cohen, Arato
maupun Putnam, berpendapat bahwa
civil society yang solid dan dinamis (
dense
and vibrant civil society) akan merupakan pilar utama bagi proses
demokrasi. Namun demikian, tidak selalu suatu syarat perlu (
necessary
condition) dengan sendirinya menjadi syarat cukup (
sufficient condition).
Tornquinst (2002) berpendapat bahwa keberadaan
civil society yang
mandiri tidak secara otomatis menjamin dan bisa menjelaskan terjadinya proses
demokratisasi di suatu negara. Bagi Tornquist, munculnya demokrasi acap lebih
bisa dijelaskan sebagai akibat dari konfllik-konflik sosial-ekonomi berbasis
kelas maupun konflik politik untuk mengubah alokasi sumberdaya. Schmitter juga
melihat bahwa
civil society yang kuat namun tersegmentasi secara
eksklusif berdasarkan perbedaan budaya, etnik, dan bahasa bisa menghambat
konsolidasi demokrasi (Pridham, 2000).
Serupa dengan Tornquist, menurut Hikam (2000), kendatipun
civil society
sangat penting, namun ia bukanlah satu-satunya prasyarat dalam rangka proses
menuju terciptanya masyarakat yang demokratis dan sejahtera.
Kutipan yang diambil dari kerja
riset DEMOS di atas menunjukkan bahwa di
Indonesia, seperti halnya di banyak
negara berkembang lainnya,
civil society acap dinilai gagal menjadi
aktor utama yang menentukan proses demokratisasi. Tornquist (2002) saat menilai
peran kelompok-kelompok
civil society dalam konsolidasi demokrasi di
Indonesia pasca-Orde Baru menyimpulkan bahwa ‘
grassroots activits foster but
limit democratisation (
while)
intermediary cause-oriented groups
serve but do not anchor democraty’. Menurut Tornquist, terdapat kaitan yang
lepas antara kerja-kerja pemberdayaan warga di tingkat akar rumput (yang gagal
membangun keterhubungan dengan struktur politik di tingkat yang lebih makro),
dengan kerja-kerja kelompok ornop yang membangun jejaring kerja bagi demokrasi
di antara beragam kelompok civil society (namun gagal membangun ikatan dengan
warga di atas akar rumput). Terputusnya mata rantai aktivisme serta
terisolirnya
civil society dari ruang politik menyebabkan mereka tidak
mampu melepaskan diri dari warisan ‘politik
massa mengambang’ serta tidak kuasa membuka
jalan bagi politik demokrasi baru yang lebih strategis ketimbang sekadar
menjadi kelompok lobby maupun kelompok penekan (DEMOS, 2005).
Dalam kaitannya dengan konteks
Indonesia menurut A.S Hikam (2000) dibutuhkan
perumusan platfrom bersama untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian
aktor-aktor dalam menciptakan pengintegrasian
civil society di
Indonesia
sebagaimana pengalaman dari Eropa Timur. Menurutnya, sifat perjuangan
demokratisasi di
Indonesia
tampaknya kurang atau belum terlalu serius memperhatikan hal ini sehingga
mereka cenderung untuk melakukan perjuangan sendiri-sendiri dengan landasan
pemahaman dan visi demokrasi yang mereka yakini. Akibatnya, sifat perjuangan
demokratisasi di
Indonesia
menjaid bersifat sporadis dan tak terorganisasi (
disorganized) dan
karenanya mudah untuk dimanipulasi oleh kekuatan-kekuatan yang menentangnya,
khususnya negara. Selain itu, kaum pro-demokrasi di Indonesia juga mudah sekali
untuk terpancing oleh perkembangan-perkembangan sesaat sehingga terkesan tidak
memiliki
endurance yang tinggi serta hanya bersifat “hangat-hangat tahi
ayam”. Jadi untuk menyatukan civil society A.S Hikam mengajukan sebuah gagasan
yaitu gagasan politik kewarganegaraan aktif (
active citizenship politics)
yang berorientasi kepada pemenuhan hak-hak asasi manusia. Dengan adanya
landasan itu, maka kendati
civil society di negeri ini bersifat
pluralistik dan heterogen, tetapi tetap akan memiliki sebuah ikatan dan
orientasi perjuangan yang sama.
KESIMPULAN
Kendati konsep civil society berkembang
di Barat, Para kaum cendikiawan di Indonesia
juga mulai mencoba untuk menerapkan konsep ini di Indonesia. Oleh karena itu
dikenallah istilah-istilah yang dianggap sama oleh para cendikiawan tersebut,
sebut saja istilah yang paling popular yaitu ‘masyarakat madani’. Walaupun
kemudian hal itu tidak disetujui oleh beberapa cendikiawan di Indonesia, salah
satunya adalah Muhammad A.S. Hikam. Ia juga menggunakan pemikiran Tocquivellian
dalam menjelaskan pemikiran civil society di Indonesia. Alex de Tocquiville
mengembangkan konsep civil society sebagai sebuah kekuatan penyeimbang
negara berdasarkan pengalamannya di Amerika Serikat. Menurut Tocquiville posisi
civil society tidak apriori subordinatif terhadap negara. Civil society memiliki kekuatan politis yang dapat mengekang
atau mengontrol kekuatan intervensionis negara.
Selain itu, civil society
yang kuat dan mandiri dianggap menjadi syarat terciptanya proses demokratisasi
di suatu negara. Selain itu, diperlukan juga platform bersama dalam
mengintegrasikan dan mengkonsolidasikan kelompok-kelompok civil society
di Indonesia dan menurut Hikam, platform yang cocok diterapkan di Indonesia
adalah partisipasi aktif warga negara yang berorientasi hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A.S.
Hikam, Muhammad. 1999. Islam, Demokratisasi & Pemberdayaan Civil
Society. Jakarta:
Erlangga.
Azra, Azyumardi. 1999. Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya.
Rahardjo, M.
Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial.
Jakarta: LP3ES.
Triwibowo, Darmawan (ed). 2006. Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi
Demokratisasi. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia.
Ubaedillah, A, dkk. 2006. Pendidikan Kewargaan
(Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta & Asia Foundation.