Bicara kaderisasi, kita, kader
HMI selalu dihadapkan pada dua pilihan yang dilematis: memilih kuantitas atau
kualitas dalam proses kaderisasi. Pilihan ini dilematis karena memilih salah
satunya, misalnya aspek kualitas, sebagai sesuatu yang lebih prioritas berarti
mengurangi kadar kuantitas.
Mari kita
tempatkan pikiran kita pada inti kaderisasi. Kaderisasi bagi HMI merupakan
jantung organisasi. Kaderisasi berfungsi pelanjut estafet perjuangan
organisasi. Seperti disebutkan Anggaran Dasar, HMI adalah organisasi mahasiswa
(AD HMI pasal 8), berfungsi sebagai organisasi kader (AD HMI pasal 9), dan
berperan sebagai organisasi perjuangan (AD HMI pasal 10).
Kaderisasi
bukanlah sekedar proses formal, seperti basic training. Kaderisasi melampau
proses kaderisasi formal. Kaderisasi formal hanyalah bagian kecil dari proses
perkaderan dan hanyalah satu dari kewajiban formal-tertulis. Jika pemahaman
kita tentang ‘kaderisasi’ berhenti hanya pada sebatas tataran basic training
HMI, sebaiknya pemahaman itu ditinjau ulang. Basic training hanyalah satu
kesempatan bagi kader untuk menerima materi-materi HMI dan sebagai langkah awal
untuk memasuki wilayah kaderisasi yang lebih besar. Basic training hanyalah
latihan dasar, jelas apa yang dimaksud latihan dasar hanya memuat sebagian
kecil dari narasi perkaderan HMI yang lebih besar.
Perkaderan yang
sesungguhnya harus bersifat kontinuitas. Dalam proses perkaderan, proses-proses
informal di luar kaderisasi formal menempati posisi yang sangat penting dan
menentukan. Karena itu, HMI harus membangun pola kaderisasi di dalam dan luar
kondisi formal, yakni tataran formal (LK 1, LK 2, LK 3) di satu sisi dan di
sisi lain melalui forum-forum informal diskusi kelompok perkawanan, tongkrongan
santai, dan jaringan informal lainnya. Pemikiran dan segala fenomena yang
menarik didiskusikan tidak jarang banyak muncul dan tercurahkan dalam
kondisi-kondisi dan jaringan informal. Karena itu, seharusnya HMI menangkap
peluang ini.
Keseriusan
dalam mengikuti proses kaderisasi juga ditampakkan oleh adanya komitmen anggota
untuk berproses secara kontinuitas. Misalnya ditunjukkan dengan keterlibatan
aktif di kegiatan-kegiatan HMI di tingkat komisariat, cabang, Badko hingga ke
pengurus besar. Keterlibatan yang aktif dan komitmen yang tinggi untuk
berproses adalah bagian dari usaha untuk mengikuti proses kaderisasi.
Kaderisasi kadang kala berjalan secara alami. Mengikuti perspektif natural selection atau seleksi alam
(dalam pengertian yang kami reinterpretasi) hanya orang-orang yang benar-benar fit, memiliki
tingkat keseriusan dan komitmen tinggi yang terus bertahan atau survive dalam organisasi (survival of
the fittest). Kader yang survive,
berkomitmen tinggi terhadap organisasi, dan aktif menghidupkan organisasi
adalah satu dari sekian anggota HMI yang sukses melalui proses kaderisasi. HMI harus mampu memupuk ‘kader’ dengan
komitmen yang tinggi, memiliki daya tahan psikologis yang kuat, dan tentu
memiliki kualitas akademis.
Dengan demikian
inti kaderisasi terletak pada kemampuan memupuk kualitas moral dan intelektual
kader sehingga mereka memiliki tanggung jawab moral dan intelektual kepada
organisasinya dan kepada lingkungan sosialnya. Poin yang dapat ditarik sebagai
kunci perkaderan adalah pemupukan aspek kualitas moral dan intelektual. Aspek
kualitas moral merupakan wilayah normatif, sesuatu yang ‘seharusnya’ harus
dimiliki setiap individu.
Aspek moral
merupakan hal yang penting bagi kader HMI. Pemantapan kualitas moral merupakan
hal pertama dan utama yang seharusnya dimiliki oleh setiap kader HMI khususnya,
dan umumnya setiap individu. Moral menjadi nafas dan landasan penting bagi
setiap individu di dalam masyarakatnya. Seperti ditegaskan oleh Rasulullah,
“sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini adalah untuk memperbaiki ahlak
(moral)”.
Kedua, kaderisasi
harus mempertimbangkan aspek intelektual. Sementara moral force atau kekuatan moral merupakan landasan etis perjuangan,
intelectual force adalah landasan
pengetahuan yang dapat mengarahkan langkah-langkah kader pada jalan yang tepat.
Intelectual force adalah landasan
kritis yang bertanggung jawab menyerap kondisi sosialnya secara kritis dan
berusaha, dengan kemampuan praktis dari aspek intelektual, membenahi kebutuhan
lingkungan sosialnya. “Moral force”
menjadi daya dobrak psikologi (psychological strike force), ruh dalam menjalani
kehidupannya.
Dalam konteks
ini, apakah kaderisasi di HMI sudah mempertimbangkan kedua hal ini? Sejauh apa
yang penulis tangkap, selain beberapa prestasi positif yang sudah dicapai,
kedua hal ini masih belum terlihat. Kaderisasi yang ada belum memperlihatkan
adanya keseriusan untuk pemupukan aspek-aspek kualitas moral. Lebih jauh, hal
ini kita bincangkan pada pengamalan NDP. Mengingat NDP adalah landasan
ideologis dan ruh yang mendasari perjuangan HMI.
Pemupukan aspek
intelektual di HMI sedikit lebih terlihat nyata usahanya ketimbang upaya
penguatan dimensi moral. Upaya untuk meneguhkan kemampuan intelektual kader
dalam proses kaderisasi terlihat misalnya melalui media-media kajian, diskusi
dan kajian-kajian lainnya. Tanpa mengabaikan ikhtiar baik ini, pemupukan
kemampuan intelektual masih juga memberi peluang yang
dapat dilihat secara kritis-objektif oleh kita.
Pertama, kajian-kajian
dan forum ilmiah yang ada di HMI belum menunjukkan adanya perkembangan. Bagi
beberapa komisariat, cabang, ataupun pengurus besar kajian-kajian tersebut
belum menunjukkan signifikansi yang baik. Sehingga dengan banyaknya
permasalahan bangsa, HMI sebagai organisasi yang dulu memperjuangkan
kemerdekaan bangsa sekarang tidak lagi dapat berbuat banyak. Sumbangsi HMI
untuk bangsa dinilai sama dengan organisasi-organisasi lain, kecuali HMI mampu
menunjukkan karya yang riil untuk bangsa.
Kedua, HMI juga harus mempertimbangkan kajian-kajian
yang dapat mengakomodir kebutuhan kader-kader dari berbagai bidang ilmu yang
ada di HMI se-nusantara. Kita semua mengetahui bahwa terdapat berbagai bidang ilmu yang giat di geluti oleh kader-kader.
Berbagai bidang ilmu tersebut harus diberi kesempatan secara sama untuk berdiskusi dan berkarya yang baik atas konsentrasi masing-masing. Apabila HMI selama ini
membuka kajian yang konsentrasinya politik, dan ikut merambah pada dunia
himpunan tercinta tak heran aspek perpolitikan nasional yang dinilai terlalu
politis ikut merambah pada tubuh himpunan. Maka rasanya ada yang kurang apabila
tidak ada kajian dan karya yang berkaitan dengan konsentrasi dari berbagai
bidang ilmu. Disparitas kajian diantara bidang ilmu lain, apabila dibiarkan, membuka
peluang merosotnya minat kader terhadap HMI.