Oleh : M. Haiqal Arifianto
“biarpun kita sudah merdeka, sudah mempunyai
negara nasional, peninggalan akibat dari penindasan dan pendidikan Belanda itu
tidaklah akan hilang lenyap begitu saja, terutama orang-orang yang melulu
mengecap pelajaran dan pendidikan di sekolah Belanda. Dan itu mungkin baru
hilang dengan pendidikan yang teratur dan keinsyafan, bahwa Belanda tidaklah
lebih tinggi derajatnya dari bangsa kita” (Lafran Pane)
Pendahuluan
Sebagai ekspresi kegundahan, apa yang disampaikan Lafran Pane di atas
merupakan penyerapan kritis dan mendalam terhadap kondisi realitas yang beliau
hadapi saat itu. Kegundahan tersebut tidak berhenti sebagai gagasan ideal semata, melainkan beliau
terjemahkan kedalam suatu wujud tindakan nyata yang kemudian melahirkan
organisasi yang dikenal dikalangan mahasiswa dengan “Himpunan Mahasiswa Islam”
(selanjutnya disingkat HMI). Ungkapan itu jelas merupakan hal yang penting bagi
kita untuk mengetahui esensi di balik lahirnya organisasi mahasiswa islam
tertua di Indonesia. Dengan mengetengahkan ungkapan di atas, tulisan ini
berusaha untuk menerjemahkan kembali ungkapan di atas ke dalam satu zaman yang
lebih spesifik, yakni HMI hari ini.
Belakangan persoalan di HMI bukan kian mereda, tetapi semakin banyak kritik
dan persepsi negatif yang dilekatkan pada organisasi tersebut. Hal tersebut
menandai bahwa kesenjangan antara harapan ideal dan kenyataan objektif semakin
tak dapat terjembatani. Ambil satu hal yang paling banyak mendapat sorotan
adalah proses “kaderisasi” di HMI.
Kaderisasi dianggap telah menampilkan
sosoknya yang berubah, bukan berubah ke arah yang lebih baik, melainkan
bergerak kearah yang kurang diharapkan.
Kondisi semacam ini tidak terjadi hanya pada cabang-cabang tertentu.
Barangkali tidak lagi berlebihan, jika penulis menyebut bahwa kesenjangan
antara harapan ideal dan kenyataan objektif di HMI telah terjadi secara meluas.
Hampir semua cabang di Indonesia mengalami kondisi ini. Bahkan seperti ada
pesimisme dari sebagian kader bahwa HMI tidak lagi menunjukkan geliatnya untuk
kembali ke khittahnya sebagai organisasi perjuangan dan perkaderan.
HMI yang dikenal sebagai organisasi perjuangan dengan gerbong kaderisasi
intelektual di seluruh cabang di Indonesia juga tidak lepas dari arus redup
ini. Apabila mencermati kondisi hari ini, arus politik yang sangat kental di
tubuh HMI juga telah menimpa pada organisasi yang dibentuk dengan corak
KeIndonesiaan dan Ke-Islaman (baca: HMI). Kondisi ini tentu sangat
mengkhawatirkan mengingat HMI pernah memiliki satu sejarah yang mampu
melahirkan tokoh sekaliber Lafran Pane, Mahfud MD, Nurcholish Madjid pencetus
NDP yang dikagumi bahkan sampai hari ini.
Sementara kondisi di atas terus menggerogoti HMI, sebagian kader justru
kurang menyadari dan terjebak dengan romantisme masa lalu. Kader-kader HMI
terjebak pada – meminjam istilah Aslam Sa’ad – konservatisme. Bagi Sa’ad,
konservatisme HMI muncul sebagai konsekuensi logis kecenderungan menganggap
dirinya mapan.
Mereka berlindung di balik jubah keanggunan masa lalu. Kondisi ini adalah satu
dari sekian masalah yang meninabobokkan kader-kader HMI masa kini.
Apabila kondisi ini terus menjejali dan menghambat kesadaran, kepekaan dan
keberanian untuk mengambil langkah strategis, bukan tidak mungkin seruan Cak
Nur “bubarkan saja HMI” akan kembali diserukan dan ditinggalkan oleh
kader-kadernya yang kian tidak puas dengan HMI. Sehingga kesimpulan yang
mungkin terjadi, sebagai ekspresi kekhawatiran penulis, seruan itu menemukan
kenyataan yang sebenarnya.
Problem Kaderisasi
Penulis berkesimpulan bahwa HMI tidak seindah dulu. Walaupun mungkin ini
penilaian yang terlalu subjektif, tapi penilaian tidak muncul dari ruang yang
kosong. Penilaian ini juga diakui oleh kader-kader yang lain. Kaderisasi tidak
lagi menjadi ruh di HMI. Sebab kaderisasi itu sendiri telah mengalami problem.
Penulis menggambarkan dua persoalan yang melekat kaderisasi.
Pertama, kaderisasi sudah kehilangan ruhnya. Kaderisasi yang merupakan
usaha untuk mencetak dan menyiapkan kader-kader baru yang benar-benar memiliki
integritas, sadar akan tanggung jawab sosialnya, dan ditopang dengan wawasan
keilmuan yang memadai, telah menurun menjadi sekedar perekrutan massa. Padahal
kita perlu sadar bahwa ada perbedaan antara apa yang dimaksud kader dengan massa.
Kaderisasi tidak mengejar kuantitas tetapi kualitas. Apabila kondisi ini sudah
membalikkan makna ini, maka apalagi namanya kalau bukan “devaluasi kaderisasi”,
yakni menurunnya nilai-nilai kaderisasi.
Kedua, kaderisasi mengalami distorsi makna. Pemahaman kader-kader HMI
tentang kaderisasi seperti berhenti pada ranah training formal. Karena itu,
ketika kita menyebut kaderisasi, maka yang terlintas adalah training formal.